Friday, March 30, 2012

CALONARANG MASIH MENYIHIR MASYARAKAT BALI

Dulu, teater Calonarang lazimnya mengerang di halaman luar Pura Dalem dalam sebuah ritual keagamaan. Kini, drama tari ini juga tampil garang di ruang-ruang pribadi keluarga lewat tayangan televisi. Penampilannya dalam konteks ritual keagamaan disangga oleh suasana yang komunal religius, sedangkan ketika tersaji dalam layar profan televisi, seni pertunjukan Calonarang mensejajarkan dirinya dengan sinetron, reality show, konser musik dan program hiburan lainnya, yang, tentu saja disimak pemirsa dalam suasana rumahan, santai dan tak formal.
Bali TV adalah salah satu stasiun televisi yang sejak berdiri hingga kini sering menayangkan teater Calonarang. Biasanya Calonarang yang disuguhkan oleh televisi swasta pertama yang bersiaran di Bali itu diangkat dari pementasan-pementasan di tengah masyarakat. Kamis (17/9) malam lalu misalnya, lewat program Lila Cita-nya, disuguhkan Calonarang yang direkam di Pameregan Pemecutan, Denpasar. Seperti halnya dalam pagelaran Calonarang di jaba pura Dalem pada sebagian besar desa-desa di Bali, tayangan drama tari Calonarang dalam layar kaca itu cukup mendapat perhatian besar penonton bila dibandingkan dengan sajian seni pentas tradisional Bali yang lainnya.
Perhatian masyarakat menyaksikan Calonarang di televisi dengan menonton pertunjukan langsung di tengah masyarakat berbanding sejajar. Seni pentas yang tak begitu sering digelar ini senantiasa disaksikan masyarakat dengan penuh perhatian, bila perlu hingga menjelang pagi. Tradisi mementaskan drama tari Calonarang serangkaian dengan odalan di Pura Dalem Gede Desa Sukawati, Gianyar, misalnya telah sejak dulu menjadi pagelaran seni yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mungkin karena apresiasi masyarakat yang besar itu yang menyebabkan teater ini lestari di desa Sukawati dan di tengah masyarakat Bali pada umumnya.
Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung.  Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada  abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.
Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra  sumber sebagai  bingkai  intrinsik saja.  Implementasi dan transformasi tata  pentasnya  dicangkokkan  dengan pola-pola,  idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku dalam   seni pertunjukan tradisional Bali. Namun dalam teater Calonarang, yang selalu bahkan harus ditonjolkan, adalah  sub-tema sihirnya yang disebut leak tadi.
Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang.  Ceritanya pada tahun 1931,  Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang  dengan tajuk Dongeng dari Dirah.
Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri.  Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.
Sub tema sihir memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang.  Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang trance yang membuat penonton tampak tegang.
Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan(memandikan  mayat). Orang yang  jadi   mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya  di  Bali.  Sementara madusang-dusanganini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.
Pertunjukan teater Calonarang di televisi tentu saja tidak memberi efek menyeramkan bila dibandingkan dengan atmosfer pementasan dalam konteks yang sesungguhnya. Tetapi karena muatan subyektifitas masyarakat Bali tentang nilai-nilai religius dan ketakutan pada dunia mistik begitu kental ditransformasikan dalam teater ini, membuat penonton televisi seperti hanyut secara emosional. Bisa jadi karena kuatnya subyektifitas itulah menyebabkan presentasi artistik dan representasi kultural teater Calonarang dalam pagelaran langsungnya di tengah komunalitas masyarakat Bali, selalu mampu menyihir penonton.
Kadek Suartaya

No comments:

Post a Comment